28.1.15

[Review] Survive! Mola Mola!: Amat Menghibur (2014)


Mulai dari 2014, malah mungkin 2013, banyak tren popculture dari 90-an kembali muncul. Salah satu yang sempat terkenal saat itu adalah Tamagochi.

Gue, atau hampir kita semua, pernah main, atau setidaknya tahu, apa itu Tamagochi. Dari pada memelihara kucing asli di mana kita harus berurusan dengan makanan, kotoran, bulu dan kencing, dalam Tamagochi kita bisa membuat dinosaurus sebagai binatang peliharaan kita.

Dan itu game dengan konsep simpel yang bagus.

Berawal dari Tamagochi, waktu masih SD gue juga pernah main versi lain dari Digimon, di mana gue sekarang punya kesempatan tidak hanya memelihara monster tapi juga melawan monster lain, ini juga salah satu perkenalan mode PvP dalam pengalaman gaming gue.

Beratus-ratus, bila bukan beribu atau bahkan jutaan game berangkat dari konsep breeding tersebut. Dan senang bisa memelihara sesuatu dari kecil, kemudian menjadi besar dan akhirnya tumbuh sebagai sesuatu yang bisa kita banggakan. Pokemon jelas salah satunya, Monster Rancher juga seperti itu, bahkan Harvest Moon pun bisa masuk dalam kategori tersebut.

Dan ini yang gue rasakan saat memainkan Survive! Mola Mola!. Game ini dengan mudah mewakili negara asalnya, Jepang, dengan gayanya yang begitu terasa. Dari artwork sampai emoji yang terdapat di dalam skrip buatan tim Select Button. Game yang dirilis September 2014 ini membawa gue teringat pada Tamagochi.

Bedanya dari Tamagochi, rasa humor di Mola Mola begitu kental. Sebagai awal, dalam Mola Mola kita mendapat tugas untuk breeding sebuah ikan dengan bentuk absurd, yang memang benar ada, mulai dari jentik hingga dewasa. Terdengar mudah, tapi tentu tidak segamblang itu.

Dalam Mola Mola tugas utama kita adalah mencapai bentuk dewasa. Salah satu caranya dengan memakan semua plankton, ikan, ubur-ubur, kepiting yang ada. Sama dengan Feeding Frenzy. Namun apa yang lebih penting dari makan adalah untuk tidak mati.

Di sini pesan menggelitik yang ditonjolkan oleh Mola Mola, bahwa ikan yang satu ini begitu mudah untuk mati. Dan penting untuk menegaskan aturan tersebut, karena kita akan sering "dijahili" dengan berbagai kasus kematian yang membuat kita berucap, "TOT WTF GIMANA KOK MATI DAH?!!".

Ada begitu banyak kemungkinan untuk mati, tapi alih-alih tertarik untuk melihat bentuk akhir dari Mola Mola peliharaan gue, justru gue tertantang untuk mencari skenario seperti apalagi yang dapat membuat Mas Mola, nama yang gue putuskan untuk memanggil Mola Mola peliharaan, berangkat ke surga ikanawi.

Sisi kurangnya tidak banyak, salah satu yang membuat gue sangat terganggu adalah iklan yang sering muncul di atas batas toleransi gue. Selain itu, semua dapat diberikan apresiasi.

Game yang satu ini berpotensi membuat lo frustasi dengan tingginya tingkat pengulangan game karena gagal mencapai target. Toh, seperti yang gue bilang tingkat kematiannya begitu tinggi. Tapi saat rasa khawatir itu terlewati, lo bisa lebih nyaman dengan theme song beraura jenaka yang menemani lo memberi makan Mola Mola dan puluhan skrip humoris yang siap menghibur.

*klik*

300 million of my own kind, all dead

*klik*

Download di iOs: Survive! Mola Mola! - gratis

4.1.15

[Review] Dumb Ways di Die 2: Sekuel Sukses (2014)


Sekuel dari game yang begitu terkenal selalu dihadapkan pada dua cerita, sukses besar melanjutkan prekuelnya atau ditinggal pemain lamanya karena mengecewakan.

Bagi Dumb Ways to Die 2, game yang ditujukan untuk safety campaign dalam penggunaan kereta sebagai transportasi publik ini tengah berada dalam kondisi tersebut. Prekuelnya dikemas apik, menghibur dan membuat banyak orang menertawakan naas. Sanggupkah sekuelnya memberikan kesan yang sama?

Tanpa basa-basi, pada sekuelnya, nama yang digunakan masih sama dan hanya menambahkan angka dua di belakangnya. Pesannya terasa cukup jelas. Game ini tidak memusingkan formula baru, mereka tetap percaya diri dengan konsep lamanya.

Dan benar, lo langsung familiar dengan DWTD 2. Theme song, artwork, mekanisme semua sama. Lo tidak akan kecewa jika memang itu yang diharapkan.

Tapi bukan berarti game ini hanya menambahkan sedikit konten. Ada beberapa hal baru di dalamnya. Mulai dari stage yang kini dibagi menjadi beberapa daerah, lo tidak lagi menemukan game random tapi mini game yang akan dihadapi terganting pada stage mana yang lo pilih.

Mini game tersebut mengikuti design stage dari menu utama. Konsep antara keduanya saling berhubungan dan pas sebagai pemanis, gimmick.

Kemudian papan skor juga menjadi hal lainnya. Di akhir sesi mini game lo akan diberitahu soal persentase skor lo dibandingkan pemain lain di penjuru dunia. Saat rendah maka timbul rasa tertantang untuk mencoba lebih baik dan menaikkan "prestasi" lo. 

Lalu, apalagi bila bukan mini game baru. Ada sebagian yang mengingatkan padamini game dari seri prekuel tapi kebanyakan menghadirkan mini game baru yang membuat DWTD 2 tidak terasa hanya memainkan prekuelnya.

Secara keseluruhan, DWTD 2 berhasil mempertahankan daya tarik yang merebut hati para gamers saat memainkan prekuelnya, dengan menambahkan satu dua hal baru yang membuatnya menyegarkan. Terutama, soundtracknya yang mudah menempel di kepala. 

Dumb ways to dieee


Download di iOs: Dumb Ways to Die 2 - gratis

3.1.15

[Review] Air Tycoon 2: Di Mana Serunya! (2012)

Air Tycoon 2 (2012)

Air Tycoon 2 awalnya menjanjikan, dan yang dimaksud dengan awal yang menjanjikan adalah bagaimana screenshot promosi dapat sebegitu menipu. Khayalan game yang seru akhirnya harus buyar.

Gue sering main game bergenre tycoon, mulai dari SIM City, lalu SIM Theme Park, SIM Hospital, Zoo Tycoon, Zoo Tycoon 2, Roller Coaster Tycoon, tidak komplit memang tapi tidak bisa dibilang tidak punya pengalaman. Kemudian, gue bertemu dengan Air Tycoon 2. Game dari TRADEGAME Lab Inc. ini ternyata apes.

Dari game-game tersebut, gue ditunjukkan asiknya menjadi seorang yang mengendalikan sebuah kota, atau kebun binatang. Ada interaksi di sana. Antara apa yang gue bangun, dengan tanggapan dari NPC yang masuk ke dalamnya. Baik, atau buruk. Ada rasa penasaran yang lebih bagi gue untuk banyak mengotak-atik agar terbangun kota berjalan rapih, atau malah memasukkan rusa ke kandang macan.

Ini gue bicara soal game yang muncul bertahun-tahun yang lalu. Nah, di Air Tycoon 2, game yang diluncurkan pada awal Oktober 2012, harus gue bilang rasanya agak hambar.

Tertarik dengan ratingnya yang tinggi dan harganya yang sedang gratis, gue membayangkan Air Tycoon menjadi versi upgrade dari Airport Mania. Seru. Banyak pesawat lalu lalang untuk landing dan take off, dan semua diatur dari sejangkauan tangan. Bagus kalau ada pesawat, atau bandara yang bisa diedit.

Jauh dari harapan, yang ada malah grafis yang ditawarkan selevel dengan Gallop Racer, game balapan kuda keluaran 2006, dan bisa gue bilang game yang dimainkan di konsol Playstation itu justru jauh lebih baik.

Sistem permainannya yang membosankan dengan memperlihatkan begitu banyak data dan tidak disertai dengan menu yang user-friendly membuat Air Tycoon 2 tidak punya greget. Persaingan dengan NPC sebagai kompetitor pun tidak terasa, karena seperti yang dikatakan sebelumnya, kita sebagai pemain hanya disodorkan pada data-data yang penampilannya tidak lebih menghibur dari catatan ekonomi semasa SMP. Njir!

Sebegitu mengecewakan sampai gue masuk ke google untuk mengetahui lebih banyak tentang game yang satu ini....ternyata, game yang gue download seharusnya Airline Tycoon 2. Klik apps, delete.

Download di iOs: Air Tycoon 2 - $ 0,99

14.12.14

[Review] Dodo Master Pocket: Cara Bagus Menertawakan Diri Sendiri (2014)

Dodo Master Pocket (Agustus, 2014)

Dodo Master Pocket, secara singkat bisa dibilang game yang satu ini hanya punya satu tujuan: trolling.

DMP bukanlah game buatan studio terkenal, tidak ada juga promosi yang membesarkan namanya. Review yang diberikan untuk game ini pun masih sedikit. Dan bila Anda salah satu orang yang percaya kualitas game yang Anda download selaras dengan review game tersebut di Apple App Store, maka Anda tidak akan pernah men-download game yang satu ini.

Tapi coba dulu beri kesempatan. Tantang diri Anda untuk main di satu atau dua stage dalam game berbentuk platform ini, kemungkinan besar Anda akan kecanduan. Kecanduan untuk grafisnya yang indah, kecanduan untuk mekanisme game yang simpel, dan kecanduan untuk dikerjai. Trolled.

Latar belakang cerita DMP adalah kita memainkan seekor Dodo yang jengah menjadi tawanan di sebuah ruang bawah tanah. Dengan perkasanya ia pun memutuskan untuk kabur dari tempat tersebut dan mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin telur yang  direbut darinya.

Di DMP kita hanya diberikan dua tombol action: untuk melompat (bisa double jump) dan melakukan stomp. Tidak ada power up, tidak ada lari, tidak ada yang lain lagi. Dua itu membuat game semakin sulit dan unik.

Pasalnya, secara keseluruhan permainan DMP memang hanya melewati rintangan dan mencari telur, yang terkadang ditaruh di tempat yang tidak terlihat. Rintangan-rintangan inilah yang menjadi menu utama bagi para gamers untuk ditaklukkan.

Selintas DMP bukan game yang sulit, dan memang bukan, asalkan Anda sanggup memainkannya dengan sabar. Ingat, ini bukan Pepsiman! Semakin Anda bernafsu untuk menyelesaikan setiap stage dengan cepat maka dijamin justru Anda semakin lama mencapai garis finis.

Ada kalanya, di saat bermain Anda juga akan tertarik untuk mengambil lifes sebanyak mungkin setiap punya kesempatan. Langkah tersebut mungkin bukan yang paling bijak. Mengapa? 

Pertama, lifes Anda dibatasi dua dan tidak akan lebih dari itu sebanyak apapun yang Anda ambil. Kedua, tempat-tempat lifes itu ditaruh sebenarnya mempertaruhkan lifes yang Anda miliki hanya untuk mengambilnya. Tidak jarang setelah mengambil lifes tambahan Anda justru terjebak dan langsung kehilangan lifes tersebut.

Secara keseluruhan, DMP menghibur, membuat Anda tertawa dan sanggup membuat Anda duduk di ujung kursi dengan merasa gregetan. Tidak ada bug, lag, semua lancar dan halus. Bahkan setiap stage terasa memiliki karakter sendiri alih-alih tantangan yang diulang-ulang.

Pada dasarnya, kita tertarik dengan trolling. Mayoritas kita senang melihat seseorang menjadi korbannya, kali ini kita yang melangkah dalam ruangan penuh jebakan menggoda yang disiapkan DMP.

P.S.: Anda mungkin bertanya, apakah ada reward bila sanggup mengumpulkan seluruh telur dalam satu stage? Tentu, dan tidak mengecewakan! Apakah reward itu berguna bagi karakter Dodo kita? Tentu, tidak!

Download di iOs: Dodo Master Pocket - $ 0,99

16.11.14

[Review] Infectonator: Hot Chase (2011)

Armor Games. 2013.
Kesan pertama yang langsung muncul di kepala ketika tangan memainkan Infectonator: Hot Chase adalah gim mobile yang satu ini sangat mirip dengan Jetpack Joyride, gim distance run yang muncul pada 2011.

Ada beberapa alasan untuk itu.

Dari adegan pembuka, di mana karakter zombie di Infectonator: Hot Chase dan pencuri di Jetpack Joyride sama-sama menjebol dinding. Kemudian keduanya sama-sama bergerak dari kiri ke kanan yang dibatasi ruang atas-bawah.

Lalu, ada bonus power yang bisa didapatkan ditengah ronde permainan. Dalam Infectonator: Hot Chase, si zombie berkesempatan menjadi salah satu zombie dengan kekuatan spesial, maka pencuri Jetpack Joyride dapat menaiki kendaraan khusus yang membuatnya tidak terkalahkan. Untuk batas waktu yang singkat.

Baik zombie dan pencuri sama-sama punya misi untuk berlari sejauh mungkin dari titik awal, disertai tugas sampingan mengumpulkan koin yang akan digunakan untuk, apalagi kalau bukan, melakukan upgrade.

Kedua gim dilengkapi dengan bonus koin jika kita sanggup menyelesaikan tugas tambahan dalam setiap ronde permainan. Seperti berlari sejauh 500m tanpa menabrak rintangan, mendapatkan sejumlah koin yang ditentukan jumlahnya dalam sekali kesempatan, dan lain-lain.

Mirip, kan?

Mungkin Armor Games dari Toge Production terinspirasi dengan Jetpack Joyride. Toh, jarak pembuatan kedua gim terlampau dua tahun. Namun, agak meremehkan bila menganggap Infectonator: Hot Chase hanya versi zombie dari Jetpack Joyride.

Infectonator: Hot Chase punya sejumlah variasi yang memberikan rasa tersendiri. Bila Jetpack Joyride berusaha melarikan diri, maka gim yang pertama kali rilis pada 2013 mengejar buruan mereka. Dan setiap kita berhasil menulari virus kepada manusia ada kesempatan dikonversi menjadi koin.

Alhasil, koin bukanlah hal yang sulit dikumpulkan di Infectonator: Hot Chase. Karenanya, usaha kita untuk melakukan upgrade jauh lebih mudah dibandingkan di Jetpack Joyride. Beli ini itu tidak perlu usaha keras. Buat saya ini menjadi fitur menyegarkan.

Konsep keseluruhan pun apik. Infectonator: Hot Chase memuat gambar dengan pixel dilengkapi soundtrack musik 32-bit yang intens. Kombinasi ini berhasil menonjolkan nuansa video gim awal 2000-an yang sangat kuat walau ia muncul satu dekade kemudian.

Buat gue, tidak mungkin melepaskan referensi Jetpack Joyride dari Infectonator: Hot Chase, tapi kemiripan itu bukan hal terpenting karena keduanya menampilkan karakter yang solid dari tema masing-masing gim yang sama-sama menghibur.


2.11.14

[Review] Fury (2014)

Grey tone, for a grim themed movie

Fury, film bertema Perang Dunia II, di satu sisi menyajikan wajah buruk perang secara realistis, sangat menghibur bila Anda suka hal-hal berbau gore, tapi di sisi lain dapat membuat para penyuka sejarah dunia misuh.

Diperkuat nama-nama besar, film ini punya gimmick yang menarik orang untuk datang ke bioskop. Pemeran utama, Don Collier (Brad Pitt), adalah sersan dari tank bernama Fury, tank tipe Sherman yang bila ada versi manusianya maka Rambo menjadi sosok yang paling tepat. Bisa diandalkan sendiri untuk menghancurkan sepasukan musuh.

Don memimpin segerombolan tentara dengan kepribadian berbeda-beda yang ditampilkan begitu menonjol. Ada Boyd Swan (Shia LeBouff) yang religius, lalu yang agak maniak, dan entah kenapa belum bisa menghilangkan kesan dari Walking Dead, Grady Travis (Jon Bernthal) dan ey, gringo! Si orang Meksiko,  Trini Garcia (Michael Pena). Dan, anak baru, Norman Ellison (Logan Lerman) yang mencoba beradaptasi dengan kejamnya perang.

 Cerita dimulai saat Norman, belum berpengalaman sama sekali dalam militer, dikirim ke garis depan dan menjadi bagian dari kru Fury. Mantan juru ketik itu diperlihatkan pada apa yang dapat manusia lakukan terhadap sesama manusia di tengah perang.

Perlahan ia beradaptasi, meski tidak mudah, dan melebur dengan rekan-rekannya. Boyd, Grady, Trini saling mengatasi ego masing-masing hingga akhirnya saling berkorban dan sampai pada tantangan terbesar, menghadapi satu kompi tentara SS (Schutzstaffel), ya, tentu, sendirian, tanpa bantuan. Cerita klasik the final frontier.

Sayang, sebelum menonton film ini gue udah liat beberapa komentar bernada miring tentang Fury.  Akhirnya bermodalkan ekspektasi rendah, gue merelakan 25 ribu.

Fury menampilkan segala sesuatu secara eksesif. Dipermanis, ditambah-tambah, akan ada lebih dari satu kali di mana saat lu nonton timbul pertanyaan, masa' iya begini? masa' sih begitu?

Salah satu yang paling menonjol ketika adegan memperlihatkan tembak-tembakan dari kedua kubu. Lucunya, pasukan AS punya peluru berwarna merah dan hijau untuk Jerman. Bisa dibayangkan, sebelum perang pecah mereka sudah janjian. Gue ijo, bodo amat pokoknya ijo. Yaudeh ambil sana ijo, gue merah. Star Wars-esque!

Seperti, tembakan meriam tank yang terpantul saat ditembakkan ke tank lain. Gue belum sempat memeriksa, sejalan dengan sejarahkah? Logika gue bilang tidak, tapi siapa tahu. Sejalan film ini bercerita gue mulai terbiasa menghiraukan hal-hal seperti ini.

Kemudian, ketika pertarungan 1-1 antara Fury melawan tank tipe Tiger milik Jerman. Ada kesan heroisme yang sedikit dipaksakan, bahwa Don cs. sanggup mengatasi tantangan yang tidak mungkin di tengah inferioritas mereka.

Atau bagaimana saat Don dapat bertahan setelah mendapat beberapa tembakan dari tentara musuh ketika kru Fury yang lain gugur dengan jauh lebih mudah. Maklum,  Pitt merupakan eksekutif produser film ini, bolehlah nampang lebih lama dibanding yang lain.

Akhirnya, secara musik, kualitas suara dan gambar film ini okelah, gue suka bagaimana Fury menimbulkan kesan perang yang grim, dan bahwa perang bukanlah hal yang diinginkan oleh siapa pun. Bolehlah ditonton, asal jangan terlalu dibuat pusing dengan fakta sejarah. Jangan.

Mungkin juga ada baiknya menonton di weekday. Hari biasa, harga biasa, kalau kecewa pun jadinya biasa.


7.10.14

[Review] Tabula Rasa (2014)


Gue punya tempat tersendiri bagi film-film kita yang membahas tentang para saudara dari timur. Setelah baru-baru ini disuguhkan Sidang MK, sekarang Tabula Rasa menjadi film yang menghibur dan, ini paling penting, pantas ditonton!

Sambutlah Hans (Jimmy Kobogau), seorang pemuda dari Serui, Papua yang memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpinya di Jakarta. Di tengah jalan, Hans dihadapkan pada kenyataan bahwa ibu kota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Mencoba bertahan hidup membuat Hans mengais di jalanan. Hingga, ia bertemu dengan Mak (Dewi Irawan).

Di sini jalannya cerita mulai hidup, plotnya punya warna baru. Mak merupakan pemilik warung Nasi Padang, pribadinya digambarkan sebagai seorang ibu yang penuh kasih. Mudah baginya untuk merasa simpati kepada Hans. Tapi tidak begitu dengan Natsir (Ozzol Ramdan) dan Parmanto (Yayu Unru).

Natsir adalah asisten Mak (?), sekaligus kasir dan tukang bersih-bersih, sedangkan Parmanto juru masak di warung Nasi Padang yang menjadi setting cerita Tabula Rasa. Berbeda dengan Mak, kedua sosok ini lebih skeptis dengan Hans. Tidak aneh, mengingat tampilannya yang begitu kucel.

Namun, perlahan tapi pasti kehadiran Hans ternyata menjadi bara yang menghidupkan kembali arang Mak, Natsir dan Parmanto.

Cerita di dalam Tabula Rasa menarik karena menampilkan interaksi yang hidup di antara empat sosok yang bisa dikatakan tidak istimewa ini. "Warung ini lebih banyak bertengkarnya daripada pengunjung," kira-kira begitu gambaran besarnya dalam salah satu dialog Natsir kepada Hans.

Walau awalnya kekakuan akting sangat kentara, tapi seiring berkembangnya cerita kita dibawa dan dihibur oleh tim minimalis Tabula Rasa ini. Bahkan, emosinya begitu terasa saat Hans beradu dalam konflik dengan Parmanto.

Pujian pun disampaikan khusus kepada Jimmy sebagai Hans, yang sanggup menurunkan berat badannya begitu drastis sehingga membuat perannya begitu natural. Salut untuk anggota tim SAR yang satu ini.

Memang di dalam alurnya ada klise-klise seperti; mimpi perantau yang mencoba peruntungannya di kota besar, mereka yang "berkhianat" akan mendapat batunya juga dan usaha keras pasti membuahkan hasil. Meski demikian, Tabula Rasa dikemas dengan sangat berwarna yang menghibur mata.

Terlebih lagi saat memasuki dapur. Di situlah hiburan yang sebenarnya. Aksi-aksi memasak di dapur yang ditangkap Adriyanto Dewo sebagai sutradara begitu ciamik. Dari sudut-sudut yang tidak monoton dan menyegarkan. Membuat kalimat ini terlintas dalam kepala: Berapa puluh ribu likes yang bisa didapat gambar-gambar instagram-esque ini.

Dimulai dengan gambaran indah dari tanah Papua, Tabula Rasa sanggup menutupnya dengan penuturan pesan yang manis. Tabik!