7.10.14

[Review] Tabula Rasa (2014)


Gue punya tempat tersendiri bagi film-film kita yang membahas tentang para saudara dari timur. Setelah baru-baru ini disuguhkan Sidang MK, sekarang Tabula Rasa menjadi film yang menghibur dan, ini paling penting, pantas ditonton!

Sambutlah Hans (Jimmy Kobogau), seorang pemuda dari Serui, Papua yang memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpinya di Jakarta. Di tengah jalan, Hans dihadapkan pada kenyataan bahwa ibu kota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Mencoba bertahan hidup membuat Hans mengais di jalanan. Hingga, ia bertemu dengan Mak (Dewi Irawan).

Di sini jalannya cerita mulai hidup, plotnya punya warna baru. Mak merupakan pemilik warung Nasi Padang, pribadinya digambarkan sebagai seorang ibu yang penuh kasih. Mudah baginya untuk merasa simpati kepada Hans. Tapi tidak begitu dengan Natsir (Ozzol Ramdan) dan Parmanto (Yayu Unru).

Natsir adalah asisten Mak (?), sekaligus kasir dan tukang bersih-bersih, sedangkan Parmanto juru masak di warung Nasi Padang yang menjadi setting cerita Tabula Rasa. Berbeda dengan Mak, kedua sosok ini lebih skeptis dengan Hans. Tidak aneh, mengingat tampilannya yang begitu kucel.

Namun, perlahan tapi pasti kehadiran Hans ternyata menjadi bara yang menghidupkan kembali arang Mak, Natsir dan Parmanto.

Cerita di dalam Tabula Rasa menarik karena menampilkan interaksi yang hidup di antara empat sosok yang bisa dikatakan tidak istimewa ini. "Warung ini lebih banyak bertengkarnya daripada pengunjung," kira-kira begitu gambaran besarnya dalam salah satu dialog Natsir kepada Hans.

Walau awalnya kekakuan akting sangat kentara, tapi seiring berkembangnya cerita kita dibawa dan dihibur oleh tim minimalis Tabula Rasa ini. Bahkan, emosinya begitu terasa saat Hans beradu dalam konflik dengan Parmanto.

Pujian pun disampaikan khusus kepada Jimmy sebagai Hans, yang sanggup menurunkan berat badannya begitu drastis sehingga membuat perannya begitu natural. Salut untuk anggota tim SAR yang satu ini.

Memang di dalam alurnya ada klise-klise seperti; mimpi perantau yang mencoba peruntungannya di kota besar, mereka yang "berkhianat" akan mendapat batunya juga dan usaha keras pasti membuahkan hasil. Meski demikian, Tabula Rasa dikemas dengan sangat berwarna yang menghibur mata.

Terlebih lagi saat memasuki dapur. Di situlah hiburan yang sebenarnya. Aksi-aksi memasak di dapur yang ditangkap Adriyanto Dewo sebagai sutradara begitu ciamik. Dari sudut-sudut yang tidak monoton dan menyegarkan. Membuat kalimat ini terlintas dalam kepala: Berapa puluh ribu likes yang bisa didapat gambar-gambar instagram-esque ini.

Dimulai dengan gambaran indah dari tanah Papua, Tabula Rasa sanggup menutupnya dengan penuturan pesan yang manis. Tabik!