14.12.14

[Review] Dodo Master Pocket: Cara Bagus Menertawakan Diri Sendiri (2014)

Dodo Master Pocket (Agustus, 2014)

Dodo Master Pocket, secara singkat bisa dibilang game yang satu ini hanya punya satu tujuan: trolling.

DMP bukanlah game buatan studio terkenal, tidak ada juga promosi yang membesarkan namanya. Review yang diberikan untuk game ini pun masih sedikit. Dan bila Anda salah satu orang yang percaya kualitas game yang Anda download selaras dengan review game tersebut di Apple App Store, maka Anda tidak akan pernah men-download game yang satu ini.

Tapi coba dulu beri kesempatan. Tantang diri Anda untuk main di satu atau dua stage dalam game berbentuk platform ini, kemungkinan besar Anda akan kecanduan. Kecanduan untuk grafisnya yang indah, kecanduan untuk mekanisme game yang simpel, dan kecanduan untuk dikerjai. Trolled.

Latar belakang cerita DMP adalah kita memainkan seekor Dodo yang jengah menjadi tawanan di sebuah ruang bawah tanah. Dengan perkasanya ia pun memutuskan untuk kabur dari tempat tersebut dan mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin telur yang  direbut darinya.

Di DMP kita hanya diberikan dua tombol action: untuk melompat (bisa double jump) dan melakukan stomp. Tidak ada power up, tidak ada lari, tidak ada yang lain lagi. Dua itu membuat game semakin sulit dan unik.

Pasalnya, secara keseluruhan permainan DMP memang hanya melewati rintangan dan mencari telur, yang terkadang ditaruh di tempat yang tidak terlihat. Rintangan-rintangan inilah yang menjadi menu utama bagi para gamers untuk ditaklukkan.

Selintas DMP bukan game yang sulit, dan memang bukan, asalkan Anda sanggup memainkannya dengan sabar. Ingat, ini bukan Pepsiman! Semakin Anda bernafsu untuk menyelesaikan setiap stage dengan cepat maka dijamin justru Anda semakin lama mencapai garis finis.

Ada kalanya, di saat bermain Anda juga akan tertarik untuk mengambil lifes sebanyak mungkin setiap punya kesempatan. Langkah tersebut mungkin bukan yang paling bijak. Mengapa? 

Pertama, lifes Anda dibatasi dua dan tidak akan lebih dari itu sebanyak apapun yang Anda ambil. Kedua, tempat-tempat lifes itu ditaruh sebenarnya mempertaruhkan lifes yang Anda miliki hanya untuk mengambilnya. Tidak jarang setelah mengambil lifes tambahan Anda justru terjebak dan langsung kehilangan lifes tersebut.

Secara keseluruhan, DMP menghibur, membuat Anda tertawa dan sanggup membuat Anda duduk di ujung kursi dengan merasa gregetan. Tidak ada bug, lag, semua lancar dan halus. Bahkan setiap stage terasa memiliki karakter sendiri alih-alih tantangan yang diulang-ulang.

Pada dasarnya, kita tertarik dengan trolling. Mayoritas kita senang melihat seseorang menjadi korbannya, kali ini kita yang melangkah dalam ruangan penuh jebakan menggoda yang disiapkan DMP.

P.S.: Anda mungkin bertanya, apakah ada reward bila sanggup mengumpulkan seluruh telur dalam satu stage? Tentu, dan tidak mengecewakan! Apakah reward itu berguna bagi karakter Dodo kita? Tentu, tidak!

Download di iOs: Dodo Master Pocket - $ 0,99

16.11.14

[Review] Infectonator: Hot Chase (2011)

Armor Games. 2013.
Kesan pertama yang langsung muncul di kepala ketika tangan memainkan Infectonator: Hot Chase adalah gim mobile yang satu ini sangat mirip dengan Jetpack Joyride, gim distance run yang muncul pada 2011.

Ada beberapa alasan untuk itu.

Dari adegan pembuka, di mana karakter zombie di Infectonator: Hot Chase dan pencuri di Jetpack Joyride sama-sama menjebol dinding. Kemudian keduanya sama-sama bergerak dari kiri ke kanan yang dibatasi ruang atas-bawah.

Lalu, ada bonus power yang bisa didapatkan ditengah ronde permainan. Dalam Infectonator: Hot Chase, si zombie berkesempatan menjadi salah satu zombie dengan kekuatan spesial, maka pencuri Jetpack Joyride dapat menaiki kendaraan khusus yang membuatnya tidak terkalahkan. Untuk batas waktu yang singkat.

Baik zombie dan pencuri sama-sama punya misi untuk berlari sejauh mungkin dari titik awal, disertai tugas sampingan mengumpulkan koin yang akan digunakan untuk, apalagi kalau bukan, melakukan upgrade.

Kedua gim dilengkapi dengan bonus koin jika kita sanggup menyelesaikan tugas tambahan dalam setiap ronde permainan. Seperti berlari sejauh 500m tanpa menabrak rintangan, mendapatkan sejumlah koin yang ditentukan jumlahnya dalam sekali kesempatan, dan lain-lain.

Mirip, kan?

Mungkin Armor Games dari Toge Production terinspirasi dengan Jetpack Joyride. Toh, jarak pembuatan kedua gim terlampau dua tahun. Namun, agak meremehkan bila menganggap Infectonator: Hot Chase hanya versi zombie dari Jetpack Joyride.

Infectonator: Hot Chase punya sejumlah variasi yang memberikan rasa tersendiri. Bila Jetpack Joyride berusaha melarikan diri, maka gim yang pertama kali rilis pada 2013 mengejar buruan mereka. Dan setiap kita berhasil menulari virus kepada manusia ada kesempatan dikonversi menjadi koin.

Alhasil, koin bukanlah hal yang sulit dikumpulkan di Infectonator: Hot Chase. Karenanya, usaha kita untuk melakukan upgrade jauh lebih mudah dibandingkan di Jetpack Joyride. Beli ini itu tidak perlu usaha keras. Buat saya ini menjadi fitur menyegarkan.

Konsep keseluruhan pun apik. Infectonator: Hot Chase memuat gambar dengan pixel dilengkapi soundtrack musik 32-bit yang intens. Kombinasi ini berhasil menonjolkan nuansa video gim awal 2000-an yang sangat kuat walau ia muncul satu dekade kemudian.

Buat gue, tidak mungkin melepaskan referensi Jetpack Joyride dari Infectonator: Hot Chase, tapi kemiripan itu bukan hal terpenting karena keduanya menampilkan karakter yang solid dari tema masing-masing gim yang sama-sama menghibur.


2.11.14

[Review] Fury (2014)

Grey tone, for a grim themed movie

Fury, film bertema Perang Dunia II, di satu sisi menyajikan wajah buruk perang secara realistis, sangat menghibur bila Anda suka hal-hal berbau gore, tapi di sisi lain dapat membuat para penyuka sejarah dunia misuh.

Diperkuat nama-nama besar, film ini punya gimmick yang menarik orang untuk datang ke bioskop. Pemeran utama, Don Collier (Brad Pitt), adalah sersan dari tank bernama Fury, tank tipe Sherman yang bila ada versi manusianya maka Rambo menjadi sosok yang paling tepat. Bisa diandalkan sendiri untuk menghancurkan sepasukan musuh.

Don memimpin segerombolan tentara dengan kepribadian berbeda-beda yang ditampilkan begitu menonjol. Ada Boyd Swan (Shia LeBouff) yang religius, lalu yang agak maniak, dan entah kenapa belum bisa menghilangkan kesan dari Walking Dead, Grady Travis (Jon Bernthal) dan ey, gringo! Si orang Meksiko,  Trini Garcia (Michael Pena). Dan, anak baru, Norman Ellison (Logan Lerman) yang mencoba beradaptasi dengan kejamnya perang.

 Cerita dimulai saat Norman, belum berpengalaman sama sekali dalam militer, dikirim ke garis depan dan menjadi bagian dari kru Fury. Mantan juru ketik itu diperlihatkan pada apa yang dapat manusia lakukan terhadap sesama manusia di tengah perang.

Perlahan ia beradaptasi, meski tidak mudah, dan melebur dengan rekan-rekannya. Boyd, Grady, Trini saling mengatasi ego masing-masing hingga akhirnya saling berkorban dan sampai pada tantangan terbesar, menghadapi satu kompi tentara SS (Schutzstaffel), ya, tentu, sendirian, tanpa bantuan. Cerita klasik the final frontier.

Sayang, sebelum menonton film ini gue udah liat beberapa komentar bernada miring tentang Fury.  Akhirnya bermodalkan ekspektasi rendah, gue merelakan 25 ribu.

Fury menampilkan segala sesuatu secara eksesif. Dipermanis, ditambah-tambah, akan ada lebih dari satu kali di mana saat lu nonton timbul pertanyaan, masa' iya begini? masa' sih begitu?

Salah satu yang paling menonjol ketika adegan memperlihatkan tembak-tembakan dari kedua kubu. Lucunya, pasukan AS punya peluru berwarna merah dan hijau untuk Jerman. Bisa dibayangkan, sebelum perang pecah mereka sudah janjian. Gue ijo, bodo amat pokoknya ijo. Yaudeh ambil sana ijo, gue merah. Star Wars-esque!

Seperti, tembakan meriam tank yang terpantul saat ditembakkan ke tank lain. Gue belum sempat memeriksa, sejalan dengan sejarahkah? Logika gue bilang tidak, tapi siapa tahu. Sejalan film ini bercerita gue mulai terbiasa menghiraukan hal-hal seperti ini.

Kemudian, ketika pertarungan 1-1 antara Fury melawan tank tipe Tiger milik Jerman. Ada kesan heroisme yang sedikit dipaksakan, bahwa Don cs. sanggup mengatasi tantangan yang tidak mungkin di tengah inferioritas mereka.

Atau bagaimana saat Don dapat bertahan setelah mendapat beberapa tembakan dari tentara musuh ketika kru Fury yang lain gugur dengan jauh lebih mudah. Maklum,  Pitt merupakan eksekutif produser film ini, bolehlah nampang lebih lama dibanding yang lain.

Akhirnya, secara musik, kualitas suara dan gambar film ini okelah, gue suka bagaimana Fury menimbulkan kesan perang yang grim, dan bahwa perang bukanlah hal yang diinginkan oleh siapa pun. Bolehlah ditonton, asal jangan terlalu dibuat pusing dengan fakta sejarah. Jangan.

Mungkin juga ada baiknya menonton di weekday. Hari biasa, harga biasa, kalau kecewa pun jadinya biasa.


7.10.14

[Review] Tabula Rasa (2014)


Gue punya tempat tersendiri bagi film-film kita yang membahas tentang para saudara dari timur. Setelah baru-baru ini disuguhkan Sidang MK, sekarang Tabula Rasa menjadi film yang menghibur dan, ini paling penting, pantas ditonton!

Sambutlah Hans (Jimmy Kobogau), seorang pemuda dari Serui, Papua yang memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpinya di Jakarta. Di tengah jalan, Hans dihadapkan pada kenyataan bahwa ibu kota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Mencoba bertahan hidup membuat Hans mengais di jalanan. Hingga, ia bertemu dengan Mak (Dewi Irawan).

Di sini jalannya cerita mulai hidup, plotnya punya warna baru. Mak merupakan pemilik warung Nasi Padang, pribadinya digambarkan sebagai seorang ibu yang penuh kasih. Mudah baginya untuk merasa simpati kepada Hans. Tapi tidak begitu dengan Natsir (Ozzol Ramdan) dan Parmanto (Yayu Unru).

Natsir adalah asisten Mak (?), sekaligus kasir dan tukang bersih-bersih, sedangkan Parmanto juru masak di warung Nasi Padang yang menjadi setting cerita Tabula Rasa. Berbeda dengan Mak, kedua sosok ini lebih skeptis dengan Hans. Tidak aneh, mengingat tampilannya yang begitu kucel.

Namun, perlahan tapi pasti kehadiran Hans ternyata menjadi bara yang menghidupkan kembali arang Mak, Natsir dan Parmanto.

Cerita di dalam Tabula Rasa menarik karena menampilkan interaksi yang hidup di antara empat sosok yang bisa dikatakan tidak istimewa ini. "Warung ini lebih banyak bertengkarnya daripada pengunjung," kira-kira begitu gambaran besarnya dalam salah satu dialog Natsir kepada Hans.

Walau awalnya kekakuan akting sangat kentara, tapi seiring berkembangnya cerita kita dibawa dan dihibur oleh tim minimalis Tabula Rasa ini. Bahkan, emosinya begitu terasa saat Hans beradu dalam konflik dengan Parmanto.

Pujian pun disampaikan khusus kepada Jimmy sebagai Hans, yang sanggup menurunkan berat badannya begitu drastis sehingga membuat perannya begitu natural. Salut untuk anggota tim SAR yang satu ini.

Memang di dalam alurnya ada klise-klise seperti; mimpi perantau yang mencoba peruntungannya di kota besar, mereka yang "berkhianat" akan mendapat batunya juga dan usaha keras pasti membuahkan hasil. Meski demikian, Tabula Rasa dikemas dengan sangat berwarna yang menghibur mata.

Terlebih lagi saat memasuki dapur. Di situlah hiburan yang sebenarnya. Aksi-aksi memasak di dapur yang ditangkap Adriyanto Dewo sebagai sutradara begitu ciamik. Dari sudut-sudut yang tidak monoton dan menyegarkan. Membuat kalimat ini terlintas dalam kepala: Berapa puluh ribu likes yang bisa didapat gambar-gambar instagram-esque ini.

Dimulai dengan gambaran indah dari tanah Papua, Tabula Rasa sanggup menutupnya dengan penuturan pesan yang manis. Tabik!